Menyusul
derasnya jumlah bencana yang menghadang didepan mata, dari tsunami, gunung meletus, bom teroris, gempa, hingga Lumpur panas … tidak sedikit
manusia bertanya : Apakah Tuhan sedang marah ?
Sebuah
pertanyaan sederhana, sekaligus menjadi warna dominant banyak wacana. Dan
sebagaimana biasa, jawabannya pun terbelah dua, ada yang menjawab positip, ada
yang menjawab negative.
Di Timur telah
lama terdengar pendapat, jika Tuhan penari, maka alam adalah tarian-Nya. Jika
demikian, adakah alam yang murka
di mata pikiran manusia mencerminkan kemarahan Tuhan.
Wajah Tuhan
Entahlah,
yang jelas pertanyaan terakhir mengingatkan pada cerita seorang sahabat pastor
tentang seorang ibu yang permennya dicuri putranya, Rio.
Melihat
putranya mencuri, ibu ini bertanya, “Rio, tidakkah kamu melihat Tuhan ketika
mencuri permen Mama ?”. Dengan polos Rio menjawab, “Lihat Ma!”
Mendengar
jawaban ini, ibunya tambah marah, dan diikuti pertanyaan yang lebih emosi,
“Tuhan bilang apa sama kamu Rio ?” Dasar anak polos, Rio menjawab jujur, “Boleh
ambil dua!”. Tentu
saja cerita ini terbuka dari penafsiran. Dari salah satu sudut pandang
terlihat, wajah Tuhan di kepala kita teramat tergantung pada kebersihan batin
kita masing-masing.
Dalam
batin bersih seorang anak polos dan jujur seperti Rio, Tuhan berwajah pemaaf
dan pemurah. Dalam batin yang mudah emosi dan curiga seperti mama Rio, wajah
Tuhan menjadi pemarah dan penghukum. Hal serupa juga terjadi dalam cara Indonesia memandang
bencana.
Tanpa menggunakan kerangka
baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah, banyak guru mengajarkan
bahwa manusia berada pada tingkat pertumbuhan masing-masing. Dimanapun
tingkatannya, semua punya tugas yang sama, betumbuh!
Tidak
disarankan yang sudah sampai tingkatan SMU, misalnya, kemudian menghina yang
baru sampai SD. Tidak juga disarankan kalau yang baru sampai SMP kemudian
minder berlebihan kepada mereka yang sudah sampai perguruan tinggi. Semuanya
bertumbuh.
Tidak ada
jaminan yang kini SMA pasti lebih cepat sampai dibanding dengan yang sekarang
baru SD misalnya.
Empat Pertumbuhan.
Dengan spirit sperti ini, izinkan
tulisan ini membagi pertumbuhan dalam empat pertumbuhan jiwa.
Pertama :
Mereka
yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang do’a.
Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa
saja ia berdagang.
Kalau permohonan tercapai, maka Tuhan berwajah baik. Kalau tidak dipenuhi,
apalagi dihadang bencana, Tuhan disebut marah.
Dalam
pandangan kelompok ini, bencana tidak lain disebabkan
karena Tuhan murka
kepada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses
pertumbuhan.
Kedua
Pecinta, yang masih Remaja.
Ciri kelompok ini adalah rasa
memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat
dan dicintai Tuhan. Cinta bagi kelompok ini tidak ada pilihan lain kecuali
menyayangi, memaafkan, membebaskan. Tidak dibolehkan ada ekspresi dari cinta
Tuhan selain menyayangi, memaafkan dan memaafkan. Begitu ada wajah cinta yang
lain (lebih-lebih berwajah bencana), maka mudah ditebak kemana kahidupan
bergerak; benci tapi rindu!.
Ini
asal muasal pertanyaan sejumlah sahabat yang luka ketika bencana, kemudian
bertanya, Tuhan, masihkah Engkau menyayangiku ?
Ketiga
Pencinta,
dewasa.
Cinta tidak lagi diikuti kebencian.
Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda
dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan
mencintai, pada tingkat ini terbalik; mencintai lebih indah dibandingkan
dicintai.
Karena
itu, bencana bagi jiwa yang sudah sampai disini tidak ditempatkan sebagai
hukuman, melainkan masukan tentang segi-segi di dalam diri yang perlu
diperbaiki. Dengan kata lain, bencana adalah vitamin bagi pertumbuhan jiwa.
Keempat.
Jiwa yang
tidak lagi mencari apa-apa
Bukan
karena marah apalagi frustasi. Sekali lagi bukan. Namun, karena melalui rasa
berkecukupan, ikhlas, dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau
semuanya sudah sempurna.
Sehat sempurna, sakit juga sempurna.
Bukankah sakit yang mengajari menghargai kesehatan secara baik ?.
Sukses sempurna, gagal juga sempurna.
Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kahidupan yang bernama tahu diri
?
Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah
kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang
lebih dalam ?.
Kaya
sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk
tidak sombong dan senantiasa rendah hati ?
Dengan demikian, dalam jiwa-jiwa
yang sudah sampai disini, tidak ada kamus bencana. Apapun yang terjadi diberi
judul yang sama, sempurna !
Orang Budha menyebut ini nirwana.
Sebagian sahabat Islam dan Nasrani menyebut Sorga
sebelum kematian.
Sebagian orang Hindu menyebutnya maha-samadhi.
Dalam bahasa konfusius, “Bila bertemu orang baik, teladanilah. Jika bertemu orang jahat, periksalah
pikiran Anda sendiri”.
Pertumbuhan Jiwa
Kambali
ke cerita
awal tentang bencana dan Tuhan sedang marah, pilihan sikap yang diambil memang
cermin pertumbuhan jiwa masing-masing. Seperti disebut sebelumnya, semuanya sedang
bertumbuh. Penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat pertumbuhan kita
sendiri. Menyebut diri lebih baik. Menempatkan orang kurang baik, hanya
kesibukan ego yang meracuni pertumbuhan jiwa kemudian.
Dan bagi
siapa saja yang sudah tumbuh menjadi pecinta tingkat dewasa, lebih-lebih sudah
menjadi jiwa yang
tidak lagi mencari, Indonesia tidak lagi berwajah Negara bencana. Indonesia
adalah salon yang mempercantik jiwa. Tanpa cobaan, bukankah kehidupan hanya
berputar-putar diluar dan mudah terasa hambar ?
Bukankah
dalam cobaan, dalam guncangan, semua jiwa sedang digerakkan masuk kedalam? Bukankah
hanya didalam sini jiwa bisa dibuat indah dan cantik ?
Seperti
seorang wanita yang segar bugar keluar dari ruang olahraga, bukankah kesediaan
untuk lelah sebentar (baca:
digoda bencana sebentar) yang membuatnya jadi bugar ?
Maaf, tulisan ini ditutup dengan pertanyaan.
Gede Prama
Penulis 22 Buku; Bekerja di Jakarta;
Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Koleksi Edi Iswanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar