A.Md. (Ahli Madya Pertanian) Politeknik Pertanian Universitas Jember : 1994-1997 ___ S.Pd. (Sarjana Pendidikan) Universitas Gresik : 2005-2007 ___ M.Pd.I (Magister Pendidikan Islam) Universitas Sunan Giri Surabaya : 2010-2011 ___ Guru IPA dan PLH di SMP dan SMA Umar Mas'ud, ___ Dosen Computer Application dan Komputer & Media Pembelajaran Smt 2, Enterpreneur dan Manajemen Perpustakaan Smt 3, Evaluasi Pembelajaran Smt 5, Media Pembelajaran PAI Smt 6 di STAIHA Bawean.
Rabu, 30 November 2011
Minggu, 20 November 2011
Jumat, 11 November 2011
Motivasi 7 – "Salon yang mempercantik Jiwa"
Menyusul
derasnya jumlah bencana yang menghadang didepan mata, dari tsunami, gunung meletus, bom teroris, gempa, hingga Lumpur panas … tidak sedikit
manusia bertanya : Apakah Tuhan sedang marah ?
Sebuah
pertanyaan sederhana, sekaligus menjadi warna dominant banyak wacana. Dan
sebagaimana biasa, jawabannya pun terbelah dua, ada yang menjawab positip, ada
yang menjawab negative.
Di Timur telah
lama terdengar pendapat, jika Tuhan penari, maka alam adalah tarian-Nya. Jika
demikian, adakah alam yang murka
di mata pikiran manusia mencerminkan kemarahan Tuhan.
Wajah Tuhan
Entahlah,
yang jelas pertanyaan terakhir mengingatkan pada cerita seorang sahabat pastor
tentang seorang ibu yang permennya dicuri putranya, Rio.
Melihat
putranya mencuri, ibu ini bertanya, “Rio, tidakkah kamu melihat Tuhan ketika
mencuri permen Mama ?”. Dengan polos Rio menjawab, “Lihat Ma!”
Mendengar
jawaban ini, ibunya tambah marah, dan diikuti pertanyaan yang lebih emosi,
“Tuhan bilang apa sama kamu Rio ?” Dasar anak polos, Rio menjawab jujur, “Boleh
ambil dua!”. Tentu
saja cerita ini terbuka dari penafsiran. Dari salah satu sudut pandang
terlihat, wajah Tuhan di kepala kita teramat tergantung pada kebersihan batin
kita masing-masing.
Dalam
batin bersih seorang anak polos dan jujur seperti Rio, Tuhan berwajah pemaaf
dan pemurah. Dalam batin yang mudah emosi dan curiga seperti mama Rio, wajah
Tuhan menjadi pemarah dan penghukum. Hal serupa juga terjadi dalam cara Indonesia memandang
bencana.
Tanpa menggunakan kerangka
baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah, banyak guru mengajarkan
bahwa manusia berada pada tingkat pertumbuhan masing-masing. Dimanapun
tingkatannya, semua punya tugas yang sama, betumbuh!
Tidak
disarankan yang sudah sampai tingkatan SMU, misalnya, kemudian menghina yang
baru sampai SD. Tidak juga disarankan kalau yang baru sampai SMP kemudian
minder berlebihan kepada mereka yang sudah sampai perguruan tinggi. Semuanya
bertumbuh.
Tidak ada
jaminan yang kini SMA pasti lebih cepat sampai dibanding dengan yang sekarang
baru SD misalnya.
Empat Pertumbuhan.
Dengan spirit sperti ini, izinkan
tulisan ini membagi pertumbuhan dalam empat pertumbuhan jiwa.
Pertama :
Mereka
yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang do’a.
Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa
saja ia berdagang.
Kalau permohonan tercapai, maka Tuhan berwajah baik. Kalau tidak dipenuhi,
apalagi dihadang bencana, Tuhan disebut marah.
Dalam
pandangan kelompok ini, bencana tidak lain disebabkan
karena Tuhan murka
kepada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses
pertumbuhan.
Kedua
Pecinta, yang masih Remaja.
Ciri kelompok ini adalah rasa
memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat
dan dicintai Tuhan. Cinta bagi kelompok ini tidak ada pilihan lain kecuali
menyayangi, memaafkan, membebaskan. Tidak dibolehkan ada ekspresi dari cinta
Tuhan selain menyayangi, memaafkan dan memaafkan. Begitu ada wajah cinta yang
lain (lebih-lebih berwajah bencana), maka mudah ditebak kemana kahidupan
bergerak; benci tapi rindu!.
Ini
asal muasal pertanyaan sejumlah sahabat yang luka ketika bencana, kemudian
bertanya, Tuhan, masihkah Engkau menyayangiku ?
Ketiga
Pencinta,
dewasa.
Cinta tidak lagi diikuti kebencian.
Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda
dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan
mencintai, pada tingkat ini terbalik; mencintai lebih indah dibandingkan
dicintai.
Karena
itu, bencana bagi jiwa yang sudah sampai disini tidak ditempatkan sebagai
hukuman, melainkan masukan tentang segi-segi di dalam diri yang perlu
diperbaiki. Dengan kata lain, bencana adalah vitamin bagi pertumbuhan jiwa.
Keempat.
Jiwa yang
tidak lagi mencari apa-apa
Bukan
karena marah apalagi frustasi. Sekali lagi bukan. Namun, karena melalui rasa
berkecukupan, ikhlas, dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau
semuanya sudah sempurna.
Sehat sempurna, sakit juga sempurna.
Bukankah sakit yang mengajari menghargai kesehatan secara baik ?.
Sukses sempurna, gagal juga sempurna.
Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kahidupan yang bernama tahu diri
?
Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah
kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang
lebih dalam ?.
Kaya
sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk
tidak sombong dan senantiasa rendah hati ?
Dengan demikian, dalam jiwa-jiwa
yang sudah sampai disini, tidak ada kamus bencana. Apapun yang terjadi diberi
judul yang sama, sempurna !
Orang Budha menyebut ini nirwana.
Sebagian sahabat Islam dan Nasrani menyebut Sorga
sebelum kematian.
Sebagian orang Hindu menyebutnya maha-samadhi.
Dalam bahasa konfusius, “Bila bertemu orang baik, teladanilah. Jika bertemu orang jahat, periksalah
pikiran Anda sendiri”.
Pertumbuhan Jiwa
Kambali
ke cerita
awal tentang bencana dan Tuhan sedang marah, pilihan sikap yang diambil memang
cermin pertumbuhan jiwa masing-masing. Seperti disebut sebelumnya, semuanya sedang
bertumbuh. Penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat pertumbuhan kita
sendiri. Menyebut diri lebih baik. Menempatkan orang kurang baik, hanya
kesibukan ego yang meracuni pertumbuhan jiwa kemudian.
Dan bagi
siapa saja yang sudah tumbuh menjadi pecinta tingkat dewasa, lebih-lebih sudah
menjadi jiwa yang
tidak lagi mencari, Indonesia tidak lagi berwajah Negara bencana. Indonesia
adalah salon yang mempercantik jiwa. Tanpa cobaan, bukankah kehidupan hanya
berputar-putar diluar dan mudah terasa hambar ?
Bukankah
dalam cobaan, dalam guncangan, semua jiwa sedang digerakkan masuk kedalam? Bukankah
hanya didalam sini jiwa bisa dibuat indah dan cantik ?
Seperti
seorang wanita yang segar bugar keluar dari ruang olahraga, bukankah kesediaan
untuk lelah sebentar (baca:
digoda bencana sebentar) yang membuatnya jadi bugar ?
Maaf, tulisan ini ditutup dengan pertanyaan.
Gede Prama
Penulis 22 Buku; Bekerja di Jakarta;
Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Koleksi Edi Iswanto
Kamis, 10 November 2011
Moivasi 6 : “Kata-kata Bijak”
(DietrichBonhoeffer)
"Mereka yang merasa dirinya menguasai kebenaran gemar
meringkas seseorang ke dalam arti 'kafir', 'beriman', 'murtad', 'Islamis',
'fundamentalis', 'kontrarevolusioner', 'Orde Lama', 'ekstrem kiri' - dan dengan
itu membekukan kemungkinan apa pun yang berbeda dari dalam diri manusia.
(Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir)
"Kalau Tuhan
mengukur manusia, meterannya dilingkarkan
Kepada hati, bukan
kepala"
(Mary Kay Ash)
"Kemajuan
adalah ibarat gelombang. Kalau kita diam saja, pasti kita akan tenggelam. Agar tak tersedot arus
pusaran, kita harus terus bergerak".
(Harold Mayfield)
"God is not an American Idol"
(Max Lucado)
"Why can't we all
get along?"
(Beliefnet)
"I have called
this principle, by which each slight variation, if useful, is preserved, by the term Natural Selection"
(Charles Darwin from
"The Origin of Species")
"A God who let us
prove his existence would be an idol"
(Dietrich)
Bonhoeffer
"Alam semesta ini terlalu kecil bila hanya manusia di Bumi saja yang menempatinya."
(Jodie Foster, Contact)
"Aku bersujud
kepadaMu seperti sujud seorang anak yang haus akan nuansa religius"
(Kahlil Gibran (1883 - 1931)
"The Truth is
hurt, and many person can’t receive that"
(Anon)
"Satisfaction
is the death of desire"
(Anon)
"God made Adam
and Eve, not Adam and Steve."
(Philadelphia, antigay movement)
"Kenali dirimu,
maka kau akan mengenal Tuhanmu"
(Nabi
Muhammad SAW)
"God is the
Greatest Truth, or the Greatest Lie?"
(Anon)
"Religio Omnium
Scientiarum Anima"
[Agama adalah jiwa
dari ilmu pengetahuan]
(Anon)
"Janganlah
menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Jika engkau tidak mengetahui siapa yang
disembah, akhirnya cuma menyembah ketiadaan.
Sungguh suatu
sembahan yang sia-sia.
(Syekh Siti Djenar)
"Semakin tinggi
pengetahuanmu,
semakin engkau sangkal
Tuhanmu itu"
(Anon)
"Tiada satu
makhluk pun bisa hidup kekal abadi"
(Anon)
"Saya
mencintaimu saat kau rukuk di masjidmu,
berlutut di kuilmu,
sembahyang di
gerejamu.
Kau dan aku adalah
putra dari satu agama,
dan itulah
spiritnya"
Kahlil Gibran (1883 - 1931)
"Kita punya
cukup banyak agama untuk membuat
kita saling benci, tapi tak cukup banyak agama yang
membuat kita saling
mencintai" -
Jonathan Swift (1667 - 1745)
"Saya mencintai
Kristusmu, saya tidak suka dengan Kristenmu. Kristenmu begitu berbeda dengan
Kristusmu"
( Mohandas Gandhi (1869
- 1948))
"Mendengarkan
orang yang sangat taat agama berbicara,
seorang dapat menyangka
Tuhan itu tak pernah tersenyum"
Ghose Aurobindo (1872-1950)
"Aku tak pernah
tahu bagaimana cara beribadah hingga aku tahu bagaimana cara mencinta"
(Henry Ward Beecher (1813
- 1887))
"Ini adalah
agamaku yang sederhana. Tidak perlu kuil,
tidak perlu filosofi
yang rumit. Otak kita, hati kita, adalah kuil kita. Filosofinya adalah kebaikan
hati"
(Dalai Lama (1935 - .... ))
Eskimo: "Jika
saya tak tahu apa-apa tentang Tuhan dan dosa,
Apakah saya akan
masuk neraka?"
Pendeta:
"Tidak, jika kamu memang tidak tahu."
Eskimo: "Lalu
kenapa kamu memberi tahu saya?"
(Annie Dillard (1945-
....))
Hiasan Rohani 2 – “Asal Kemaksiatan dan Ketaatan”
“Pokok
dari tiap-tiap maksiat, lupa kepada Allah dan syahwat yang berasal dari nafsu
adalah rela menuruti hawa nafsu. Dan pokok dari setiap ketaatan, kesadaran dan
menjaga diri dari syahwat adalah tiada kerelaanmu menuruti hawa nafsu”.
Orang-orang yang bermakrifat kepada
Allah semuanya bersepakat bahwa pokok timbulnya perbuatan maksiat, berpaling
dari Allah dan mengikuti syahwat adalah menuruti kehendak nafsu. Menuruti nafsu bisa
menyebabkan aib dan keburukan-keburukannya tertutup sehingga keburukan nafsu
akhirnya dianggap baik. Barang siapa ridha terhadap kehendak nafsunya, pastilah
dia menganggap baik keadaannya dan tenang di dalamnya. Dalam keadaan ini atau pada peringkat ini, ia seperti
keadaan lembu yang dicocok hidungnya, senang ditarik oleh syaitan ke sana ke
mari.
Barang siapa
menganggap baik setiap keadaan nafsunya dan merasa tenang di dalamnya. Dalam
keadaan demikian, kelalaian kepada Allah akan menguasainya. Dengan kelalaian
itu terlepaslah hatinya dari penjagaan karena bisikan-bisikan nafsu. Sehingga
tarikan-tarikan syahwat menguasainya dan mengalahkannya. Yang demikian ini karena pada dirinya tidak ada
kewaspadaan yang dapat menolak nafsu. Barang siapa dikalahkan oleh syahwat,
jatuhlah ia ke dalam berbagai kemaksiatan. Jiwa yang dikuasai syahwat, syahwat
akan menjadi rajanya dan syaitan akan mendorongnya dengan menghiasi setiap
kejahatannya agar segala kejahatan itu akan senantiasa dipandang baik. Di
akhirat nanti, syaitan akan berlepas diri darinya.
Ingatlah bahwa mengetahui seluk beluk nafsu itu wajib.
Sebab dengan mengetahuinya orang akan mudah memeranginya.
Diantara
sifat-sifat nafsu itu ada yang disebut nafsu
ammarah, yaitu nafsu yang selalu condong pada watak badaniyah. Adapun ciri
watak badaniyah adalah suka kepada kenikmatan dan syahwat. Misalnya, suka
melakukan sesuatu dengan senang hati dan lebih condong kepada perbuatan syaitan
dan senang dengan keduniaan.
Firman Allah SWT :
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Surat
Yusuf Ayat 53)
Nafsu yang diberi
rahmat oleh Allah itu misalnya Nafsu
Muthmainnah, yaitu nafsu yang menyebabkan hati bercahaya sehingga mudah
menjalankan perintah-perintah Allah.
Adapun Nafsu Ammarah itu
terbagi menjadi tujuh jenis yaitu :
2.
Marah
4.
Dengki
5.
Merasa dirinya
lebih utama
dari lainnya
dari lainnya
6.
Tamak
7.
Riyak
Ketujuh jenis nafsu ammarah itu harus diperangi,
dibersihkan dari dalam jiwa setiap orang.
· Nafsu syahwat harus
diperangi dengan riyadah dan mujahadah, yaitu melatih diri melawan hawa nafsu
dengan sungguh-sungguh.
·
Nafsu marah harus diperangi dengan
kebijaksanaan dan sabar.
·
Nafsu sombong dan
tamak harus diperangi dengan sifat Qana’ah, yaitu menerima apa saja dari semua
ketentuan Allah.
·
Nafsu merasa dirinya lebih utama dari
lainnya harus diperangi dengan tawadhuk, yaitu merendahkan hati kepada semua
orang.
·
Nafsu riyak harus diperangi dengan
ikhlas.
Adapun sumber pokok
ketaatan itu berasal dari keengganan seseorang di dalam menuruti kehendak
nafsunya. Keengganan seseorang di dalam menuruti nafsu itu dapat menghasilkan
semua ketaatan dan akhirnya berhasil menjadi orang yang makrifat.
Syeikh Ahmad
Dhiyauddin bin Musthafa berkata : “keberhasilan di dalam mencapai amal kebaikan
(taat) itu ada tiga sebab yaitu :
1.
Takut kepada Allah, baik di tempat
yang sepi atau di tempat yang ramai.
2. Ridha terhadap ketentuan taqdir Allah
3. Berlaku baik kepada semua makhluk Allah dalam
setiap keadaan.
Langganan:
Postingan (Atom)